Berenang di Remang Peradaban Fatamorgana
Sejatinya, kita
adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Kita perlu masukan, nasehat,
bahkan kritik yang dapat membangun. Sebab kita bukan lah manusia sempurna.
Seperti halnya setiap permasalahan yang terjadi di sekitar kita perlu di telaah
dan dicari solusinya. Sebagai generasi muda wajib atas kita “melek” media,
berfikir kritis dalam menyikapi permasalahan dan memilah pilihan. Bicara
tentang pemuda, tak luput dari sosial media facebook, twitter, instagram dan
sebangsanya. Mungkin dunia telah berbalik dari yang sebenarnya tabu untuk
diumbar karena dulunya sih orang curhat itu via buku diary, namun sekarang
semenjak maraknya sosmed (sosial media), semuanya berubah. Orang tak peduli
apakah itu aib atau bukan yang penting update status via sosmed yang mungkin
berdampak kepuasan tersendiri. Padahal justru sebaliknya, privasi telah
terumbar ke khalayak umum. Dan disinilah, daya kritis pemuda mulai melemah
seakan menulis di dinding ratapan layaknya kaum yahudi yang melakukan
ritualnya.
Tentu saja
kemajuan yang melahirkan sosmed dan teknologi canggih sangatlah abu-abu, kenapa
abu-abu? Karena ada dua sisi yang sangat kontras dan menimbulkan keraguan
apabila tercampurkan bak warna hitam dan putih. Sisi putih disini diartikan
positif akan dampak teknologi misalnya komunikasi yang relatif mudah dan sangat
efektif apabila dimanfaatkan dengan sebaik mungkin tapi bisa jadi malah bersisi
hitam yang disini diartikan memiliki dampak negatif karena telah salah guna.
Misalnya tindakan hukum yang bisa saja dijatuhkan kepada pengguna sosmed karena
telah berkata buruk atau mencemari nama baik sesuatu. Walaupun Negara kita
adalah Negara demokrasi yang bebas berpendapat, katanya. Berbicara tentang demokrasi sebagai sistem pemerintahan, memang
betul demokrasi secara teoritis memberikan ruang bagi pendapat apapun untuk
disuarakan dimana jumlah suara yang menentukan, maka seharusnya yang berjumlah
banyaklah yang akan memenangkan demokrasi, entah yang banyak itu yang jahat,
ataukah yang banyak itu yang taat. Namun sungguh disayangkan, ternyata teori
tak sesuai dengan realita asli. Kasus kenaikan BBM misalnya, sebagian besar
rakyat tidak setuju dengan kenaikannya tapi tetap saja dinaikkan. Dimana sisi
demokrasinya? Demikianpun menimbulkan propaganda, mengapa? Karena masyarakat
tidak hanya perorangan, namun juga hasil
interaksinya yang memunculkan pemahaman, opini bersama, juga standar bersama.
Tak hanya sistem pemerintahan yang
teorinya terbalik dengan fakta. Media masa pun juga begitu, siapa yang
menguasai dialah yang merajai. Maka siapa yang "baik" dan siapa yang
"buruk" bisa didikte oleh media, dimunculkan dan direkayasa oleh
media, medialah yang menentukan bagaimana cara masyarakat berpikir, atau
membuat tidak berpikir sama sekali dengan
tontonan rusak seperti sinetron yang
tidak mendidik yang melibatkan adegan vulgar
yang tak pantas di area sekolahan. Kali ini mindset para generasi kembali
digoyahkan bak berenang di fatamorgana bermandikan air hampa. Tentu ini semua
bentuk penjajahan perlahan, mindset
para remaja yang diserang dan “dicekok”
dengan tayangan yang tak mendidik bahkan tidak masuk akal alur ceritanya. Dan sadarkah
kawan pada sinetron tertentu yang mengisahkan tentang budaya Indonesia
justru dimainkan dalam versi yang berbeda?
Dan parahnya, sebagai pemilik budaya kita malah asyik saja menyaksikan. Dimana
rasa khawatir kita apabila 50 atau 100 tahun lagi budaya kita diklaim oleh
Negara lain hanya karna kita merasa aman saja saat Negara lain mengambil alih
hiburan televisi yang melibatkan kebudayaan sakral milik Negeri kita tercinta
ini.
Beralih ke materi kurikulum baru "gaya pacaran sehat"
yang diajarkan di buku Pendidikan Jasmani, Olahraga, Kesehatan keluaran Kemendikbud untuk kelas 11 SMU.
Tantangan pemuda Indonesia saat ini bukan penjajahan fisik, seringkali lebih kepada
penjajahan secara pemikiran, sasarannya pondasi spiritual. Pondasi spiritual
dan cara berfikir yang mungkin bisa saja terpengaruh. Negara barat seakan jadi
kiblat, lewat pendidikan formal, keburukan seolah terlegalisasi , sekolah
justru jadi ajang pembangunan mindset
yang meleset serta tidak mampu berpikir menyeluruh dan solutif. Karenanya, hal-hal semisal ini harus menjadi
kekhawatiran bersama. Seakan telah disumbat dari berbagai arah, kita perlu
pembenahan utamanya bagi orangtua untuk selalu mengontrol dan generasi muda
yang harus kritis serta “melek” media.
Bagaimanapun juga sebagai pemuda bangsa,
kita harus “bangkit dan membongkar kebiasaan lama” kata Bang Iwan. Mencari jati
diri utuh Indonesia yang selalu menjaga etika kebudayaan yang baik. Perubahan
pasti terjadi seiring berjalannya waktu.
Namun kita harus pastikan perubahan apakah yang bisa kita pilih untuk
kelangsungan hidup dalam Negeri. Pemuda Indonesia harus menyelamatkan
mulut-mulut mungil generasi selanjutnya, memastikan mulut-mulut mungil akan
tumbuh layaknya penyeru kebaikan ditengah padang pasir nan panas dan mencetak
generasi mulia yang bukan hanya fatamorgana. Thank For Reading :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar