Sabtu, 06 Desember 2014

Contoh Essay tentang Pemuda Jaman Sekarang

Berenang di Remang Peradaban Fatamorgana
Sejatinya, kita adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Kita perlu masukan, nasehat, bahkan kritik yang dapat membangun. Sebab kita bukan lah manusia sempurna. Seperti halnya setiap permasalahan yang terjadi di sekitar kita perlu di telaah dan dicari solusinya. Sebagai generasi muda wajib atas kita “melek” media, berfikir kritis dalam menyikapi permasalahan dan memilah pilihan. Bicara tentang pemuda, tak luput dari sosial media facebook, twitter, instagram dan sebangsanya. Mungkin dunia telah berbalik dari yang sebenarnya tabu untuk diumbar karena dulunya sih orang curhat itu via buku diary, namun sekarang semenjak maraknya sosmed (sosial media), semuanya berubah. Orang tak peduli apakah itu aib atau bukan yang penting update status via sosmed yang mungkin berdampak kepuasan tersendiri. Padahal justru sebaliknya, privasi telah terumbar ke khalayak umum. Dan disinilah, daya kritis pemuda mulai melemah seakan menulis di dinding ratapan layaknya kaum yahudi yang melakukan ritualnya.
Tentu saja kemajuan yang melahirkan sosmed dan teknologi canggih sangatlah abu-abu, kenapa abu-abu? Karena ada dua sisi yang sangat kontras dan menimbulkan keraguan apabila tercampurkan bak warna hitam dan putih. Sisi putih disini diartikan positif akan dampak teknologi misalnya komunikasi yang relatif mudah dan sangat efektif apabila dimanfaatkan dengan sebaik mungkin tapi bisa jadi malah bersisi hitam yang disini diartikan memiliki dampak negatif karena telah salah guna. Misalnya tindakan hukum yang bisa saja dijatuhkan kepada pengguna sosmed karena telah berkata buruk atau mencemari nama baik sesuatu. Walaupun Negara kita adalah Negara demokrasi yang bebas berpendapat, katanya. Berbicara tentang demokrasi sebagai sistem pemerintahan, memang betul demokrasi secara teoritis memberikan ruang bagi pendapat apapun untuk disuarakan dimana jumlah suara yang menentukan, maka seharusnya yang berjumlah banyaklah yang akan memenangkan demokrasi, entah yang banyak itu yang jahat, ataukah yang banyak itu yang taat. Namun sungguh disayangkan, ternyata teori tak sesuai dengan realita asli. Kasus kenaikan BBM misalnya, sebagian besar rakyat tidak setuju dengan kenaikannya tapi tetap saja dinaikkan. Dimana sisi demokrasinya? Demikianpun menimbulkan propaganda, mengapa? Karena masyarakat tidak hanya  perorangan, namun juga hasil interaksinya yang memunculkan pemahaman, opini bersama, juga standar bersama.
Tak hanya sistem pemerintahan yang teorinya terbalik dengan fakta. Media masa pun juga begitu, siapa yang menguasai dialah yang merajai. Maka siapa yang "baik" dan siapa yang "buruk" bisa didikte oleh media, dimunculkan dan direkayasa oleh media, medialah yang menentukan bagaimana cara masyarakat berpikir, atau membuat  tidak berpikir sama sekali dengan tontonan rusak  seperti sinetron yang tidak mendidik yang melibatkan adegan vulgar  yang tak pantas di area sekolahan. Kali ini mindset para generasi kembali digoyahkan bak berenang di fatamorgana bermandikan air hampa. Tentu ini semua bentuk penjajahan perlahan, mindset para remaja yang diserang dan “dicekok” dengan tayangan yang tak mendidik bahkan  tidak masuk akal alur ceritanya. Dan sadarkah kawan pada sinetron tertentu yang mengisahkan tentang budaya Indonesia justru  dimainkan dalam versi yang berbeda? Dan parahnya, sebagai pemilik budaya kita malah asyik saja menyaksikan. Dimana rasa khawatir kita apabila 50 atau 100 tahun lagi budaya kita diklaim oleh Negara lain hanya karna kita merasa aman saja saat Negara lain mengambil alih hiburan televisi yang melibatkan kebudayaan sakral milik Negeri kita tercinta ini.
Beralih ke materi  kurikulum baru "gaya pacaran sehat" yang diajarkan di buku Pendidikan Jasmani, Olahraga, Kesehatan  keluaran Kemendikbud untuk kelas 11 SMU. Tantangan pemuda Indonesia saat ini bukan penjajahan fisik, seringkali lebih kepada penjajahan secara pemikiran, sasarannya pondasi spiritual. Pondasi spiritual dan cara berfikir yang mungkin bisa saja terpengaruh. Negara barat seakan jadi kiblat, lewat pendidikan formal, keburukan seolah terlegalisasi , sekolah justru jadi ajang pembangunan mindset yang meleset serta tidak mampu berpikir menyeluruh dan solutif. Karenanya, hal-hal semisal ini harus menjadi kekhawatiran bersama. Seakan telah disumbat dari berbagai arah, kita perlu pembenahan utamanya bagi orangtua untuk selalu mengontrol dan generasi muda yang harus kritis serta “melek” media.

Bagaimanapun juga sebagai pemuda bangsa, kita harus “bangkit dan membongkar kebiasaan lama” kata Bang Iwan. Mencari jati diri utuh Indonesia yang selalu menjaga etika kebudayaan yang baik. Perubahan pasti terjadi  seiring berjalannya waktu. Namun kita harus pastikan perubahan apakah yang bisa kita pilih untuk kelangsungan hidup dalam Negeri. Pemuda Indonesia harus menyelamatkan mulut-mulut mungil generasi selanjutnya, memastikan mulut-mulut mungil akan tumbuh layaknya penyeru kebaikan ditengah padang pasir nan panas dan mencetak generasi mulia yang bukan hanya fatamorgana. Thank For Reading  :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar