Mulut-mulut
Mungil
Mau dibawa kemana Negara kita? Mungkin
teman-teman membacanya sambil nyanyi lagunya Armada yang menceritakan tentang
hubungan yang tidak jelas arahnya. Lagu yang tak jarang dinyanyikan mulut-mulut mungil Indonesia.
Tapi bukan membahas soal hubungan yang mengarah tersebut, kita akan membahas sesuatu
yang lebih berbobot yaitu tentang betapa tidak jelasnya arah Negara kita ini.
Di zaman modern ini wajib bagi kita memilah serta memilih mana yang bersifat
positif dan dapat dimanfaatkan baiknya. Media massa misalnya, yang selama ini
jadi kiblat peradaban masyarakat. Sebagai pemuda, penumbuhan skill kritis perlu sekali dipupuk habis,
sebab yang ada pada media massa sekarang belum tentu bisa dipertanggung
jawabkan. Terkadang seorang penulis berita lebih memasukkan unsur opini ke
dalam berita tersebut sehingga tak heran bila banyak pula kasus yang semacam
ini terjadi di layar kaca kita. Antara channel
A dan B mengulas persoalan yang sama namun berbeda dalam pemberitaannya. Seakan
unsur objektif dalam penulisan berita telah terhalang dengan ambisi opini.
Kalau sudah begini yang menang adalah yang menguasai media massa tentunya. Yang
buruk bisa dikemas menjadi cantik, sedangkan yang baik bisa dikemas serupa
dengan bangkai busuk. Seakan hidup di hutan siapa yang kuat dialah yang menang,
begitu sekurangnya sifat media masa. Belum lagi pembahasan soal berita yang
meragukan, tontonan yang tak layakpun juga banyak beredar di media massa.
Judul sinetron “Ganteng-ganteng Serigala”
misalnya, yang menayangkan adegan tak layak di area sekolah dengan alur cerita
yang tidak masuk akal. Ini salah satu kemiskinan para pemegang media massa di
Indonesia. Seyogyanya apabila memang diinginkan perubahan untuk Negeri ini maka
rubah dulu kiblat masyarakat, minimal menayangkan hiburan yang menghibur tanpa
ada unsur negatif dalam setiap penayangan. Karena peran media ini sangatlah
signifikan dalam pembentukan moral khususnya para remaja yang mengidolakan
sinetron yang tak bermutu. Coba bayangkan apabila setiap hari kita diberi
santapan sinetron yang tak bermoral seperti itu, mau dibawa kemana Negara kita?
Mau dibawa kemana pemuda kita? Belum
lagi penayangan sinetron seperti itu ada pada waktu yang dapat dijangkau anak
dibawah umur. Bicara soal anak dibawah umur, makin datang generasi makin memprihatinkan. Selain tayangan anak
yang terkadang ada unsur kekerasan lebih lagi tayangan tentang kebudayaan
Indonesia yang diceritakan dalam versi cerita ala India. Dimanakah rasa
khawatir kita? Bagaimana jika suatu saat seiring berjalannya waktu kebudayaan
itu direnggut dan diklaim oleh Negara lain hanya karna kita merasa aman-aman
saja ?
Selain dalam lingkup tayangan visualisasi
tentu ada lagi yang menjadi momok Negeri ini. Budaya musik anak-anak pun seakan
lenyap. Sekarang anak-anak lebih familiar dengan lagu dewasa yang seharusnya
tidak layak didengar bahkan dilantunkan oleh mulut-mulut mungil yang tak berdosa.
Kali ini bukan hanya mulai musnahnya penyanyi cilik, lagi-lagi karena media
lebih banyak menyorot tayangan yang tergolong dewasa. Padahal bibit-bibit
unggul Negeri ada ditangan kita, tugas kita lah untuk merawat dan menjaganya
sebagai pewaris budaya, penjaga nusantara. Bagaimanapun juga sebagai pemuda
bangsa, kita harus “bangkit dan membongkar kebiasaan lama” kata Bang Iwan.
Mencari jati diri utuh Indonesia yang selalu menjaga etika kebudayaan yang
baik. Perubahan pasti terjadi seiring
berjalannya waktu. Namun kita harus pastikan perubahan apakah yang bisa kita
pilih untuk kelangsungan hidup dalam Negeri. Pemuda Indonesia harus
menyelamatkan mulut-mulut mungil generasi selanjutnya, memastikan mulut-mulut
mungil akan tumbuh layaknya penyeru kebaikan ditengah padang pasir nan panas
dan mencetak generasi mulia yang bukan hanya fatamorgana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar