Sabtu, 06 Desember 2014

Essay Peradaban sekarang

Mulut-mulut Mungil
Mau dibawa kemana Negara kita? Mungkin teman-teman membacanya sambil nyanyi lagunya Armada yang menceritakan tentang hubungan yang tidak jelas arahnya. Lagu yang tak jarang  dinyanyikan mulut-mulut mungil Indonesia. Tapi bukan membahas soal hubungan yang mengarah tersebut, kita akan membahas sesuatu yang lebih berbobot yaitu tentang betapa tidak jelasnya arah Negara kita ini. Di zaman modern ini wajib bagi kita memilah serta memilih mana yang bersifat positif dan dapat dimanfaatkan baiknya. Media massa misalnya, yang selama ini jadi kiblat peradaban masyarakat. Sebagai pemuda, penumbuhan skill kritis perlu sekali dipupuk habis, sebab yang ada pada media massa sekarang belum tentu bisa dipertanggung jawabkan. Terkadang seorang penulis berita lebih memasukkan unsur opini ke dalam berita tersebut sehingga tak heran bila banyak pula kasus yang semacam ini terjadi di layar kaca kita. Antara channel A dan B mengulas persoalan yang sama namun berbeda dalam pemberitaannya. Seakan unsur objektif dalam penulisan berita telah terhalang dengan ambisi opini. Kalau sudah begini yang menang adalah yang menguasai media massa tentunya. Yang buruk bisa dikemas menjadi cantik, sedangkan yang baik bisa dikemas serupa dengan bangkai busuk. Seakan hidup di hutan siapa yang kuat dialah yang menang, begitu sekurangnya sifat media masa. Belum lagi pembahasan soal berita yang meragukan, tontonan yang tak layakpun juga banyak beredar di media massa.
Judul sinetron “Ganteng-ganteng Serigala” misalnya, yang menayangkan adegan tak layak di area sekolah dengan alur cerita yang tidak masuk akal. Ini salah satu kemiskinan para pemegang media massa di Indonesia. Seyogyanya apabila memang diinginkan perubahan untuk Negeri ini maka rubah dulu kiblat masyarakat, minimal menayangkan hiburan yang menghibur tanpa ada unsur negatif dalam setiap penayangan. Karena peran media ini sangatlah signifikan dalam pembentukan moral khususnya para remaja yang mengidolakan sinetron yang tak bermutu. Coba bayangkan apabila setiap hari kita diberi santapan sinetron yang tak bermoral seperti itu, mau dibawa kemana Negara kita? Mau dibawa kemana  pemuda kita? Belum lagi penayangan sinetron seperti itu ada pada waktu yang dapat dijangkau anak dibawah umur. Bicara soal anak dibawah umur, makin datang generasi  makin memprihatinkan. Selain tayangan anak yang terkadang ada unsur kekerasan lebih lagi tayangan tentang kebudayaan Indonesia yang diceritakan dalam versi cerita ala India. Dimanakah rasa khawatir kita? Bagaimana jika suatu saat seiring berjalannya waktu kebudayaan itu direnggut dan diklaim oleh Negara lain hanya karna kita merasa aman-aman saja ?

Selain dalam lingkup tayangan visualisasi tentu ada lagi yang menjadi momok Negeri ini. Budaya musik anak-anak pun seakan lenyap. Sekarang anak-anak lebih familiar dengan lagu dewasa yang seharusnya tidak layak didengar bahkan dilantunkan oleh mulut-mulut mungil yang tak berdosa. Kali ini bukan hanya mulai musnahnya penyanyi cilik, lagi-lagi karena media lebih banyak menyorot tayangan yang tergolong dewasa. Padahal bibit-bibit unggul Negeri ada ditangan kita, tugas kita lah untuk merawat dan menjaganya sebagai pewaris budaya, penjaga nusantara. Bagaimanapun juga sebagai pemuda bangsa, kita harus “bangkit dan membongkar kebiasaan lama” kata Bang Iwan. Mencari jati diri utuh Indonesia yang selalu menjaga etika kebudayaan yang baik. Perubahan pasti terjadi  seiring berjalannya waktu. Namun kita harus pastikan perubahan apakah yang bisa kita pilih untuk kelangsungan hidup dalam Negeri. Pemuda Indonesia harus menyelamatkan mulut-mulut mungil generasi selanjutnya, memastikan mulut-mulut mungil akan tumbuh layaknya penyeru kebaikan ditengah padang pasir nan panas dan mencetak generasi mulia yang bukan hanya fatamorgana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar